Minggu, 13 Mei 2012

Beri aku Judul


GALAU DALAM AKUARIUM TAK BER-IKAN
29 januari 2011 hadir dari keinginan sang waktu menjelmakan hasrat untuk mewujudkan impian yang sebenarnya begitu sederhana tetapi kadang kedahsyatannya melampaui realitas siapapun yang masih mengatakan diri sebagai manusia yang berjalan menelusuri lorong takdirnya. Tak ada keterpisahan antara detik dengan jam, sudut dengan lingkaran, hari dengan waktu, angka dengan huruf, hari dengan tanggal, waktu dengan masa, cerita dengan kisah dari perjalanan dan kenangan. Layaknya malam yang temaniku saat ini, menuangkan setetes embun dalam bejana gulita selimuti resah serangga-serangga malam ketika instrumentalia pekikkan irama khas dibalik rerumputan yang tadi sorenya aku lalui bersama hatiku, kini menantang hayal tuk arungi kembali kisah itu. Sulit mengawali langkah bukan berarti hal yang rumit tuk berpijak dihadapan kaki jiwa sendiri. Kesempatan untuk terlelap dalam tidur, mungkin adalah rangkaian ketermanguanku sesaat yang awali bangun dari tidurku selama beberapa menit saja diruang tempatku ini, serasa habis tertidur seharian (bahagia tak terpisahkan dengan kesedihan). Terngiang suara ; “aku milikmu malam ini dan memelukmu sampai pagi”……………..kupikir kau sudah”….
Hubungan yang begitu rumit, tak mampu sebuah penafsiran dari realitas yang ada untuk menebak apatahlagi mereka-reka apa yang belum ada. Namun akan kucoba tuk bercerita dan menggambar abstrak dalam sebuah analogi saja.
Sebuah akuarium hanya berisi air yang nampak tidak keruh dan tidak jernih pula, tanpa ikan didalamnya ia menjadi penghuni sebuah rumah tua, tanpa tuan ditepi hutan yang lama tak terjamah. Sarang laba-laba nampak dari dinding rumah yang terbuat dari papan itu, terlihat putih disetiap sudut dan ujung tiang-tiang penyanggah yang telah lapuk. menyelinap sinaran mentari diantara atap yang telah bocor dan bahkan sebagian atap telah hilang akibat cuaca buruk musiman yang kunjung tiba disetiap waktu-waktu  tertentu.
Sesekali nampak berlarian hewan pengerat seperti tikus tapi bukan tikus, menyelinap dari lubang yang ada dibawah lantai rumah tua meramaikan suasana hening, gaduh langkah kaki berlarian diatas bekas dapur yang masih menyisakan sisa-sisa kepulan asap warnai ruangan tersebut, berserakan kayu bakar, terurai dari ikatannya yang terbuat dari bulatan rotan kecil, mungkin berasal dari halaman belakang yang kini telah ditumbuhi berbagai jenis pepohonan dan semak-semak. Senja hadir menusuk dalam pelukannya, mengajak jangkrik melekikkan suara, diantara sayap hitam belalangpun melompat dari dahan ke dahan sambil mengiang memilih tempat peristirahatannya di malam yang sebentar lagi tenggelamkan segala warna menjadi gelap.
Gemerisik air dari telaga disebelah timur taman yang terbengkalai sejak ditinggal pergi ditumbuhi rerumputan makin menyiratkan sepi tempat tersebut, tenang bahkan suara butiran embunpun nyaris terdengar disetiap waktu ketika tejatuh dari dedaunan. Miniature taman menyerupai bukit kecil menjadi pemisah antara telaga dengan rumah tua.
Perlahan dikala pagi sang mentari meransek disela-sela ranting dan dedaunan yang rindang.
Akuarium dengan keruh air dan sisa-sisa kotoran yang terjatuh dari atap rumah yang bocor serta gumpalan pasir didasarnya nampak kemilauan terterpa sinar matahari pagi yang terpantul dari telaga menghangati dinding kaca yang masih lembab, itu terjadi setiap paginya seolah menayangkan pada alam tentang kesendirian sang akuarium didalam rumah tua yang sudah reok itu.
dalam telaga hidup seekor ikan, satusatunya penghuni telaga adalah dia.
Saat-saat tertentu sang ikan muncul kepermukaan mengibaskan ekor dan bermain meloncat menyundul akar cocor bebek yang tumbuh ditengah telaga, gelombang riak air menyilaukan kerlip sinar yang saling memantul dari akuarium terpantul pada air telaga membuat tempat itu lebih terang. Tiap hari akuarium memperhatikan aktifitas dalam telaga, kala pagi ikan terlihat menikmati hangatnya mentari mengitari dasar kolam berputar kesana kenari.
Awal yang tak tersadari oleh akuarium dan awal yang sebenarnya tak mau ia tahu akan kilauan cahaya itu, ternyata adalah pantulan matahari dari salah satu sisi dinding kacanya, begitu jua ikan yang ditelaga ia tak pernah tahu jika disetiap pagi hari ia menjadi pusat pengamatan sang akuarium. Ia juga tak mengetahui riak-riak air yang timbul karena kibasan kecil ekor yang bermain riang itu timbulkan sinar pendaran kecil yang silau menggoda akuarium tepiskan sepi dari bisu  hari dalam diamnya…meski sejenak saja namun ada arti yang merangkai angan jadi harapan pagi ini….
Waktu berlalu dari hari menjadi minggu dan bulan akan berubah jadi tahun yang selalu berganti namun tak mudah merubah apa yang ada dihari ini, kemarin dan esok lusa. Akankah akuarium tak ber-ikan melampaui satu masa yang pernah ada untuk terulang kembali…cinta jemputlah aku….
Yang pasti akan ada cerita tercipta, akan merubah galau menjadi harapan cinta yang akan mencintai cinta.
            Seekor semut terjatuh kedalam akuarium dari atas balok penyanggah atap rumah. Berusaha menyelamatkan diri melewati dinding kaca yang licin lalu perlahan merangkak dalam keadaan tubuh yang kuyup merayap mengitari sisi akuarium, berhenti sejenak diatas meja lapuk, entah apa yang sedang dpikirkannya dalam lamunan, tak takutkah ia pada anai-anai yang berkerumun memakan kayu meja tempatnya berdiri. Posisi meja dalam keadaan miring kekiri sedikit menghalangi pintu masuk akibat ubin yang terangkat naik dan mendorong sisi kanan salah satu kaki depan meja yang mengancam keberadaan akuarium dapat terjatuh sewaktu-waktu. Semua itu akibat bersarangnya rayap dibawah lantai lalu membentuk beberapa koloni.
Perlahan semut melanjutkan perjalanannya melewati celah-celah meja menuju sisi belakang akuarium yang berdempetan dengan dinding papan kayu jati. Semutpun menghilang bersama Tanya melanjutkan hidup meski sendiri, mungkin……..
            Senja menampakkan helai demi helai uraian benang hitamnya yang sebentar lagi akan tersulam menjadi selimut malam bersama hawa dingin, cipta aroma khas kabut sore di hari ini yang tak akan terlupakan dan sewaktu nanti akan terulang dibenak menjadi “de javu”
Embun menetesi telaga terjatuh dari daun pohon mahoni menyiratkan kesan arti tentang kesendirian yang iba tersenyum menatap diri….
Sunyi, sepi kadang terusik gaduh ranting yang terjatuh dan dahan-dahan yang terhempas patah karena rapuh, selalu jadi teman dalam gelap adakah mengajarkan keangkuhan terhadap dunia selain hidup dari pikiran sendiri yang terlalu menilai sebuah arti kejujuran dan keterbukaan adalah kepecundangan bahkan kemunafikan tak dinafikan akan mudah melekat dimata, kasih dari jiwa yang keringpun ditertawakan karena bukan sesuatu yang normal “katanya”. Lebay-pun menjadi kosakata umum yang makin merapuhkan hati tuk memilih namun jiwa beri jawaban yang tak mudah tuk dimengerti, biar perih gundahkan rasa, bukankah penyakit itu selalu beserta dengan obat,,,yakinku….
Tanpa cahaya malam ini bertabur bintang, gelappun terusik rembulan dan selalu saja sama tak merubah apapun, tak merubah dingin, tak beri hangat pada malam ini atau adakah hati telah beku? Aku (ikan) berselimut batu diantara himpitan tanah beri ruang yang sedikit memiliki kehangatan bersama belaian akar  rerumputan yang menggelantung ditepian telaga mengitari tepian hidupku. Wejangan akar-akar mahoni yang hitam pekat tak ayal membuatku risau dan ketakutan namun kuanggap saja tempat satu-satunya berteduh saat teriknya hari.
Pinggiran telaga retak tepat diujung akar mahoni yang mati, runtuh menggelindingkan batu besar dari atas taman, membuat sang ikan tersentak kaget dan tercengang mengalahkan risaunya…. Ooohhhh pagi segeralah tiba (cemas bergumam hatinya).
            Tenang dalam kelembutan gelombang air yang meriakkan bagai cermin yang bergoyang mendendang dedaunan kering dalam ayunan syahdu disudut telaga. Nampak daun masih hijaunya diatas sana bercermin pada air menanti diri melayang jatuh ketika keringnya, terapung dipermukaan lalu tenggelam kedasar hidup yang menjadi akhir persembahannya pada ranting dan dahan tempatnya tumbuh menengok hari dunia ini, lalu pergi entah mencari…
Seolah pikiran melompat menyelami air telaga sang akuarium melihat perbedaan hari dengan pagi kemarinnya. Telaga terlihat luas, meluaskan pandangan dari sini namun bercampur cemas penuh kesal akan ketidakberdayaannya tuk berbuat, hanya bertanya dalam hati ; “kemana batu besar yang halangi pandanganku ini, batu yang ada ditepi taman, jangan-jangan,,, oh..tidak” ia pun risau akan keberadaan sang ikan yang sedari tadi tak terlihat olehnya, yang seharusnya telah muncul dipermukaan dan bermain kemilaukan pagi. “adakah batu besar itu telah menerpa dan melukainya, atau bahkan……??”
Perasaan tak percayanya makin merisau ia pun terseret cemas diri sendiri semakin dalam pikirannya menyelami tiap sudut-sudut telaga mencari sosok bayang. Pasrah dalam do’a, semaikan sisa-sisa reruntuhan dan bekas pijakan batu besar lalu berucap buat apa mata memandang dengan leluasa pada air ditelaga ini ketika semua ada yang hilang, “semoga sang ikan tak tertimpa batu yang menggelinding, semoga juga tak menghantam keras pikiranku sendiri”. Tersisa tanya mengapa aku merindu….?
            Hingga matahari naik sepenggalan sang akuarium tetap dalam pendiriannya akan harapan munculnya sang ikan, dikenangnya kala menyapa dipagi hari bersama bias sinar sang mentari yang dimainkan sang ikan pada dinding akuarium agar cipta kerlipan cahaya menerpa wajah yang tersenyum meredupkan sunyi telaga dan taman.
Seolah pupus dan sirna harapan. Tiba-tiba sang ikan muncul menampakkan sirip yang putih kemerah-merahannya ditengah telaga. Ingin hati sang akuarium merengkuh dan memeluk penuh gembira namun rasa senang dalam keterbatasan membuat diri yang tercipta dari kaca berbentuk kotak transparan hanya berisikan air ini, tak sanggup berbuat apa-apa.
            Riak air tak lagi beri sinaran gelombang yang memantul, namun suasana hari ini melebihi hangat mentari yang telah meninggi diatas sana.
Jelas sudah terlihat telaga yang kini memiliki 17 sisi lekukan-lekukan, “semoga itu beri nuansa baru bagi duniamu wahai sang ikan, meski selama ini tak pernah keluh kebosanan akan tempatmu” (“kata sang akuarium”….)
Batu besar seukuran 60 Cm perseginya itu kini telah karam dan memberi keleluasaan memandang setiap saat tanpa ada yang merintangi bahkan ketika gelap kaburi pandangan tetap juga kelembutan air melambai lepaskan lelahku yang bisu lalu melelapkan  sudut – sudut malam ini, walau itu samara namun nyata dalam pejam.
Tujuh meter jarak antara akuarium dengan telaga tidak lebih dan tidak pula kurang. Kini yang menjadi penghalang hanyalah sebuah pilar rumah tua yang menutup sisi kanan telaga dari pandangan…..adakah dilain waktu risau hati persembahkan resah yang tak lelah tuk menunggu….?
Prologi ikan untuk akuarium tak ber-ikan :
Aku tahu jika engkau memiliki rasa, rasa yang membuatmu gundah akan arti hadirku dalam hari yang engkau lalui. Senantiasa menatap daku penuh makna aku tak tahu kalau pantulan sinar cahaya mentari itu adalah dari dinding kaca yang ada pada dirimu. Aku juga tak tahu jikalau riak air yang bergelombang menggerakkan bias cahaya sehingga kilauannya nampak menari bagi pandanganmu hingga tercipta persepsi yang menjadi asumsi yang diolah dari realitas kepribadianmu itu yang katanya berbentuk kotak bening karena terbuat dari kaca… telah kodratnya rasa ada dihati bukan dibenak, hati tiadalah yang berbeda yang beda hanya bingkainya, yaitu akal pikiran dan cara menghadapi persoalan yang pasti penuh perbedaan, aku tahu langkah kaki mesti beriring dengan sang bijak, setiap kata mesti terpahami agar tersirat makna, setiap jiwa haruslah menjadi penasehat yang arif terhadap hati diri sendiri. Jangan terluka oleh sebuah penilaian karena kita hadir dari nilai, membawa sebuah nilai, bukan sebuah penilaian. Diam itu bijaksana, diam itu kendali diri, dan diam itu bisa jadi diplomasi hati untuk hati. Tak ada yang tak mungkin karena ketidak mungkinan itu adalah kemungkinan pula. Bila memang dibenakmu ada rasa yang hadir menjelmakan hati untuk sebuah keinginan, maka inilah persepsi kepribadianku dari apa yang ada dan pernah ada lalu satu saat nanti akan ada menghadirkan arti keterbatasanku sebagai mahluk yang hanya mengitari sisi kisi-kisi permukaan, dan dasar sebuah kolam saja sempit jalan disini namun kuakui banyak hal yang belum terjawab mesli hanya sedikit.
Perlahan kerinduan merasuki jiwaku, kadang bernyanyi mendendangkan sebuah lagu yang bukan lagu hati meski yang bernyanyi adalah hatiku. Arti hangatmu dikala pagi menanamkan asa yang mungkin akan terpatri disanubari.  Melangkahlah menuju padaku, kenali daku yang ingin kau raih. Miliki aku dengan yakinmu sematkan rasa dihatiku pula. Jangan beranggapan jika daku tak ingin miliki rasa, disini ada anggapan tentang akuarium yang begitu istimewa dalam sepinya, sunyi begitu amat berharga sampai-sampai mengalahkan diriku tuk memilikimu. Namun tak ada yang jadi penghalang ketika hati hendak memilih dan telah kumiliki engkau dihatiku….. mungkin terdengar menggelitik ketika seekor ikan yang hidup leluasa didalam sebuah telaga meski sendiri namun lepas tanpa belenggu menginginkan hidup dalam akuarium yang ukurannya jauh lebih kecil dari telaga, namun aku ingin berkata ; “aku hanya seekor ikan yang belum pantas untuk hidup dalam akuarium kehidupanmu, banyak hal yang mesti kubenahi agar aku hinggap tiba disaat ada hak tuk memiliki tempat seindah itu.
Untuk saat ini, ketika kubertanya atau bicara maka akan banyak jawaban yang akan kau beri “wahai akuarium tak ber-ikan”. Semua ini akan memiliki penafsiran berbeda bagi siapapun disetiap personalitas seseorang namun inginku cukup akuarium saja yang menanggapi, beri penafsiran meski berbeda itu tak mengapa, karena aku butuh akan itu pula. “pintaku” biarkan sang ikan hidup dalam telaga memandangi akuarium yang membersikkan bisikan cintanya agar menerpa bersama sinar mentari yang membias  telaga. Biarkan aku hidup didekat akuarium saja yang bersanding sebagai mahluk yang tak berarti. Biarkan berenang dengan bebas, lepas dengan kebetahannya, mengalir bersama perasaannya yang hanyut bersama “syukurnya” ketika diberi tempat yang begitu dekat dengan akuarium….indahnya memberi sejuk padaku (sang ikan). “Maafku” bila ada yang jauh dari keinginan harapan.
Mungkin telah terukir wajah cinta pada hati akuarium, meski bening dinding kaca tak menampakkan sosok dari eujud hati yang sebenarnya, mengapa aku begitu yakin dan merasakan kalau aku bukanlah siapa disandingannya itu yang membuatku redup menjadi nyala api yang kecil dikalahkan terang dirinya… diri tak sanggup berbuat apa hanya pintaku “beri aku bahagia, izinkan aku mengukir nama dihati saja, kumiliki dirimu hanya dalam nama bukan pada jiwa dan raga akuarium.
Akuarium tak ber-ikan bukan sekedar sebuah harapan yang mungkin akan membuat seseorang yang lebih baik dan berarti beranjak pergi. Ingin kujadikan akuarium bukan sekedar sebuah jalinan hubungan saja tapi sebuah arti yang satu saat nanti bisa meredam ego dalam diri, yang saat ini dapat menjauhkan sang akuarium dari telaga hariku…….yah…semua ada arti dari keberhargaan yang aku takut ketika kehilangan, cukuplah dengan mengenang pada hari esokku bayangmu menjadi abadi tak terhapus waktu. Aku takut kehilangan lagi karena aku pernah kehilangan, itulah penyebab mengapa aku tak ingin memilih tuk memiliki, ketika saatnya nanti ada kebencian lalu pergi meninggalkanku. Jadi kumohon jangan beranjak dari sisi telaga lalu pergi dari meninggalkanku karena itu sangat menyakitkan.
Ingin kujalani semua ini bukan karena ada apanya, namun akan kulalui apa adanya, rasa yang kumiliki tak terukur dan bukan sebuah tolak ukur tuk menilai apa yang ada dalam lisan dan tulisan belaka, butuh pembuktian dari waktu ke waktu yang terlewati hari ini dan akan datang, wahai akuarium yang tersayang!
Hari berlalu dan terlewati begitu saja meski terkadang kusut namun masih terurai dengan baik walau ada kusam yang nampak dari sisa-sisa.
Hingga tiba waktu yang tak pernah terfikir tapi pernah terbersik dibenak sang akuarium. Meja yang lapuk itu kini rapuh dan patah menghempaskan diri akuarium tak ber-ikan, terjatuh kelantai teras rumah tua yang juga sudah retak.. Suara gaduh terdengar disetiap ruang hingga ketepi hutan, berisik menyentakkan hening dan mengusik sepi dimalam hari yang memang selalu saja sepi dan sunyi kadang terisi kusut kegalauan jiwa diri sendiri. Dinding kaca setiap sisi akuarium kini telah hancur berkeping-keping hingga ketika pagi di esok hari telah tiada lagi bias cahaya mentari pagi yang terpantul darinya, yang selalu menjadi awal harinya.
Dinding kaca yang telah berserakan perlahan meneteskan air (mata) dari serpihan-serpihannya yang tajam, nampak air mengalir  dari teras rumah tua yang terlihat lebih tinggi dari taman yang ada didekat telaga sana….mengalir diantara gundukan tanah berbukit, menyapu setiap debu dan pasir-pasir tanpa peduli. Berpikir tentang keberadaan dirinya seolah ada sesuatu yang tersingkap lalu berkata “adakah aku adalah air dalam akuarium yang telah remuk itu, air yang selama ini menyimpan “galau”. Adakah selama ini aku adalah kebisuan yang tepenjara pada malam-malam senyap seperti malam ini, mestinya selama ini aku mengalir saja menuju telaga, melewati sela rerumputan yang kedinginan. Galau adalah duniaku yang tak berujung, aku kini menuju padanya “selamat tinggal” menjadi lorong perjalananku menggerakkan roda lewati bebatuan menuju harapan yang selama ini terpasung kaku, terpenjara ego tercambuk untaian-untaian bait keputus asaan. Mungkinkah selama ini aku adalah gagasan dinding kaca sang akuarium tak ber-ikan. menjadi bayang dirinya yang hening menampakkan hadirku dalam bening dirinya hingga tak terpisahkan (fikirku) tentang diriku dan dirinya adalah satu?
Kupahami diri adalah “galau dalam akuarium tak ber-ikan” yang mengalir bersama, bukan akuarium yang tercipta dari tangan-tangan yang memiliki kehendak, yang terpikat keadaan dan berbuat demi kepuasan ego lalu mencampakkan ketidak berartianku……
Telaga nantikanlah diri yang sedang menuju padamu, jangan biarkan terik matahari menguapkan cairku agar galau tak kekeringan ditengah pengembaraannya bersama hatiku yang ada dirimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar